JAKARTA--Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak Januari 2021 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah selama masa pandemi Covid 19.
KPAI mencatat ada lima alasan yang menyebabkan anak putus sekolah, yaitu karena menikah, bekerja, menunggak Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), kecanduan game online dan meninggal dunia.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan pandemi Covid-19 telah berlangsung selama setahun, seharusnya pemerintah daerah sudah dapat memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya, sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah.
“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, ” ungkap Retno, dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (6/3/2021).
KPAI melakukan pantauan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Pemantauan di lakukan secara langsung oleh jaringan Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).
Alasan putus sekolah pertama adalah karena siswa menikah. Berdasarkan pantauan KPAI jumlahnya mencapai 33 peserta didik. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII yang beberapa bulan lagi akan menjalankan ujian kelulusan sekolah.
”Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus” kata Retno
Alasan kedua adalah siswa yang putus sekolah karena harus bekerja. Pandemi berdampak besar terhadap ekonomi masyarakat sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Siswa yang putus sekolah karena bekerja ini ada yang menjadi buruh bangunan, dan ada yang membantu usaha orang tuanya.
Selanjutnya, alasan ketiga adalah siswa menunggak SPP selama berbulan-bulan. Jumlah laporan terkait penunggakan SPP yang diterima KPAI cukup tinggi. Sejak Maret 2020 hingga Februari 2021 terdapat 34 kasus. Hampir 90 persen laporan berasal dari sekolah swasta.
”Pihak sekolah swasta yang juga turut terdampak dari penunggakan tersebut, umumnya melayangkan surat tagihan kepada orangtua siswa dan memberikan syarat harus membayar dengan mengangsur. Namun, karena memang tidak ada uang untuk membayar sama sekali, maka banyak orangtua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah”. ujar Retno.
Retno mengatakan, alasan putus sekolah keempat adalah anak-anak kecanduan game online. Di Kota Cimahi, terdapat dua anak kelas VII SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online. Satu diantaranya memilih untuk cuti karena akan mengikuti pemulihan secara psikologi.
Sementara itu, alasan kelima putus sekolah adalah karena anak meninggal dunia. Pantauan ini tercatat di Kabupaten Bima, siswa terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu.
Terkait hal itu, KPAI memberikan rekomendasi antara lain :
1.Negara harus hadir untuk mencegah anak-anak putus sekolah selama pandemic karena masalah ekonomi atau karena ketiadaan alat daring. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus segera melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah beserta alasannya. Hasil pemetaan dapat digunakan sebagai intervensi pencegahan oleh Negara. Hak atas pendidikan adalah hak dasar yang wajib di penuhi Negara dalam keadaan apapun.
2.Faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena menikah, bekerja dan menunggak SPP, umumnya di sebabkan oleh factor kesulitan ekonomi dan factor kesulitan alat daring. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membantu kelompok rentan ini, yaitu anak-anak dari keluar miskin yang sangat berpotensi kuat untuk putus sekolah.
3.Faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena kecanduan game online, tentu saja sangatlah bergantung pada peran keluarga. Para orangtua harus melakukan pendampingan, edukasi maupun pengawasan kepada anak-anaknya selama BDR. Orangtua harus menentukan aturan penggunaan gadget terhadap anak-anaknya dengan memberikan alasan yang tepat dan dapat dipahami anak-anaknya.
4.Dinas Pendidikan di berbagai daerah harus melakukan pembinaan dan sanksi tegas kepada sekolah-sekolah yang tidak memberikan akses PJJ daring dan bahkan mengeluarkan peserta didiknya karena menunggak SPP. Pemerintah Daerah juga wajib membantu sekolah yang anak-anaknya mayoritas dari keluarga tidak mampu, sehingga para gurunya juga tetap mendapatkan gaji meskipun para muridnya mayoritas menunggak SPP. Anak-anak dari keluarga Miskin adalah kelompok yang paling terdampak selama pandemi, termasuk pemenuhan hak atas pendidikannya.(hy)